BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia
melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini.
Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi
dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran
dan sebagainya.
Hal ini
merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan
al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja,
dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan
teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks
persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
Dalam kaitannya
antara nisbat As-sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa
As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga
sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan
As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir
ayat Al-Quran.[1]
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah
al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash
al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan
tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai
hujjah / dasar pijakan hukum. Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi
“ijma’ sukuti”.
Pengertian qiyas apabila dalam suatu kasus tidak ditemukan hukumnya
berdasarkan nash (al-Quran dan Sunnah) dan Ijma’dan di peroleh ketetapan bahwa
kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illat hukum
itu, maka kasusu itu di qiyaskan denga kasus tersebut dan ia diberi hukum
dengan hukumannya, dan hukum ini merupakan hukumnya menurut syara’.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Apakah semua ulama sepakat dengan kehujjahan Al-Quran?
b.
Ditinjau dari segi apakah As-Sunnah dikategorikan sebagai penjelas
Al-Quran?
c.
Mengapa yang bersepakat dalam ijma’ harus para mujtahid?
d.
Bagaimana Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode
Pengambilan Hukum!
1.3
Tujuan Penulisan
a.
Dapat mengetahui kehujjahan Al-Quran
b.
Dapat mengetahui hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
c.
Dapat mengetahui macam-macam qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
AL-QURAN
A.
Pengertian
Al-Quran adalah firman Allah yang
diturunkan oleh Allah dengan perantara Jibril ke dalam hati Rasullah Muhammad
bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna
yang pasti sebagai bukti bagi
rasul bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus
petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamba kepada
Tuhannya) sekaligus sebagai ibadah biloa
dibaca. Al-Quran di antara dua lembar, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri
surat an-Naas, yang sampai kepada kita secara teratur (perawinya tidak
terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara
dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan Firman Allah Swt:[2]
انا
نحن نزلنا الذكر واناله لحافظون
(الحجر:٩)
“Sesungguhnya kami telah menurunkan
Al-Quran, dan sesungguhnya kami tetap memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
B. Kekhususan
dan Keistimewaan Al-Quran
Setelah
melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Quran mempunyai
kekhususan dan keistimewaan dari
kitab-kitab lainnya. Maka apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan
keistimewaan Al-Quran, maka tidak bisa dikatakan sebagai al-Quran. Adapun
kekhususan dan keistimewaan menurut Syarmin Syukur sebagai berikut:[3]
Ø Bahwa Al-Quran baik kalimat dan maknanya,
datang dari Allah SWT. Dan Rasul saw dalam hal ini tidak lain hanyalah
menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui malaikat Jibril,
dengan kalimat yang sama persis dengan
yang ada sekarang ini.
Ø Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah
dengan lafadz dan uslub bahasa.
Ø Bahwa Al-Quran telah diriwayatkan dengan
cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang qath’I (pasti) dan yakin lantaran
periwayatan dan ketetapannya yang sah.
C. Kehujjahan
Al-Quran
Hukum
Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan
untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah
merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari
Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak
diragukan lagi kebenarannya. Adapun kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Ulama
Imam Mazhab sebagai berikut:[4]
a. Pandangan Imam
Abu Hanifah
Sependapat
dengan jumhur ulama bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah
berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup lafazh dan
maknanya. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa
Al-Quran hanya maknanyasaja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa
selain bahasa Arab.
b. Pandangan Imam
Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz
dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat
Allah.
c. Pandangan
Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’i sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa
Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau
berpendapat. “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali
petunjuknya terdapat dalam Al-Quran.” Oleh karena itu, Imam Syafi’i senantiasa
mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai
metode yang digunakan, yakni deduktif.
Namun, As-Syafi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan
dari As-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para
ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran
kemudian As-Sunnah, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam yang
pertama itu Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap
keduanya berada pada satu martabat.
d. Pandangan Imam
Ahmad Ibnu Hambal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan
zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya
agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa
Al-Quran itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunnah.
Namun, seperti halnya Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunnah
mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nahs, tanpa menyebutkan Al-Quran
dahulu atau As-Sunnah, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan
As-Sunnah.
D.
Dilalah Al-Quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’.
Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan
tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada
kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan
beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu
hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari
Nabi SAW.[5]
2.2.
SUNNAH
A.
Pengertian
Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang bisa dilalui atau
suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara
tersebut baik atau buruk.[6] Sedangkan
As-Sunnah menurut syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah.
Pengertian sunnah juga dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu:
·
Ilmu Hadits
·
Ilmu Ushul Fiqih
·
Ilmu Fiqih
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad
SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:
Artinya:
"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang
mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu
teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:
Artinya:
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan,
perbuatan maupun pengakuan."
B.
Kekuatan sebagai Hujjah
Umat islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan, dan penetapan
Rasulullah yang mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan
sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas
kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam. Ia adalah sumber yang digunakan
oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas perbuatan orang-orang
mukallaf.
Adapun bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak,
antara lain:[7]
1.
Nash-nash Al-Quran. Karena Allah SWT, sering kali dalam ayat-ayat
Al-Quran memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, menjadikan taat kepada
Rasul sebagai bukti ketaatan mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi
diantara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.
Kesepakatan para Sahabat ra, baik sesama hidup maupun sepeninggalan
Rasulullah Saw. Akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup nabi, para
sahabat telah melaksanakan hukum, menjalankan perintah dan (menjauhi) larangan
nabi Saw; halal dan haram.
3.
Allah Swt, dalam Al-Quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang
masih bersifat global, hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
C.
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
Hubungan As-Sunnah kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai
hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring
Al-Quran. Adapun hubungannya kepada Al-Quran dari segi hukum yang dibawanya,
tidak lebih dari salah satu di antara tiga hal berikut:
·
As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa Al-Quran.
·
As-Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa
Al-Quran
·
As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan
oleh Al-Quran.[8]
D.
Dilalah Sunnah
Ditinjau dari segi petunjuknya, hadits sama dengan Al-Quran, yaitu
bisa qath’iah dilalah dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari
segi tsubut, ada yang qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati
pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunnah terhadap Al-Quran, para
ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat
dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak
sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.[9]
Dalam kajian ushul fiqih, hadits dari segi sanadnya terbagi menjadi
dua macam: hadits mutawatir dan hadits ahad.
2.3.
IJMA’
A.
Pengertian
Ijma’ menurut ulama ushul fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah.atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[10]
Namun, ada beberapa ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’
menurut istilah, diantaranya:
·
Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad Saw, dalam sustu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara’.
·
Pengarang kitab Tahrir, Al Kamal bin Hammam berpendapat bahwa ijma’
adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ MuhammadSaw, terhadap masalah
syara’.[11]
B.
Syarat-syarat Ijma’
Dari defenisi Ijma’ diatas
dapat diketahui bahwa Ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria
dibawah ini
Ø Yang bersepakat
adalah para mujtahid :
Para ulama berselisih paham tentang Istilah Mujtahid
secara umum, mujtahid itu
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath huukm
dari dalil-dalil syara’ dalam kitab jam’ul
Jawani, disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adlah orang yang faqih,
dalam sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’,
sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas, ada juga yang
memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan
pendapat al qaqih dalamkitab isbat bahwa Mujtahid yang diterima fatwanya adalah
ahlu ahli wal addi.
Ø Yang bersepakat
adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian
mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut
jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena Ijma itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa Ijma; itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid
karena yang dimaksud kesepatakan ijma’ termasuk pula kesepatakan sebagian besar
dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah
mencakup hukum keseluruhan.
Ø Para muktahid
harus umat Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang
arti umat muhammad SAW ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud umat muahmmad SAW adalah orang mukallaf dari
golongan ahli wa al aqdi, ada juga yang
berpendapat bahwa mereka adalah oranng
mukallaf dari golongan muhammad SAW.
Ø Dilakukan setelah
wafatnya Nabi Muhammad
Ijma itu tidak
terjadi ketika nabi Masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan
para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.
à Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syarat
Maksudnya,
kesepatakan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat
seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C.
Macam-Macam Ijma’[12]
1.
Ijma’ Sharih
Artinya,
semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati
salah satunya.
2.
Ijma’ Sukuti
Artinya,
pendapat sebagian ulama tentang suatu maslah yang diketahui oleh para mujahid
lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut
secara jelas. Ijma’ sukuti sah apabila dikatakan memenuhi beberapa kriteria.
D. Maksud Ijma’
dalam Kitab-Kitab Fiqih
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’
itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu
masa tentang ketetapan hukum syara’. Dengan demikian, apabila jumhur ulama
menetapkan kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak
termasuk ketetapan hukum dan tidak dikatakan ijma’.
Menurut orang-orang yang selalu mengikuti beberapa permasalahan,
hasil ijma’ itu di adakalanya bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid,
tetapi ada juga yang berasal dari kesepakatan imam madzhab. Maka tidaklah sah
untuk menggantungkan diri kepada kitab-kitab fiqih yang didalamnya terdapat
kata ijma’, karena ijma’ tersebut mungkin saja hanya kesepakatan para ulama
yang ada pada suatu madzhab yang ditulis oleh pengarang kitab.
2.4.
QIYAS
A.
Pengertian
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya
atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan
definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan
qiyas dalam istimbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan
berikut ini:
1.
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia
yakni pandangan mujtahid.
2.
Golongan kedua qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan
dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat
syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik
dirancang oleh paramujtahid ataupun tidak.[13]
B.
Rukun Qiyas
·
Ashl (pokok),
Yaitu
suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
·
Far’u (cabang),
Yaitu
peristiwa yang tidak ada nashnya.
·
Hukum Ashl,
Yaitu
hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
·
Illat
Yaitu
suatu sifat yang terdapat pada ashl.
Para ulama yang
menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran,
Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional. Alasan ulama
yang menetapkan qiyas:
·
Diantara ayat-ayat al-quran yang digunakan sebagai dalil.
·
Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil
·
Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa qiyas
adalah hukum syara’.
C.
Qiyas sebagai sandaran Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan
sandaran ijma’ diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijma’ dengan demikian bahwa Ijma itu
qath’I, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni, menurut kaidah, yang qath’, itu
tidak sah didasarkan pada yang zhunni
Pada ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’
beragumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama, juga
dikarenakan qiyasitu termasuk salah satu dalil syara’ maka sah dijadikan
sandaran ijma’
D.
Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum
Masalah ini
termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan qiyas, dan tidak
berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan qiyas.
Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus
menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan
semua pada hukum.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini
merupakan dalil pokok dan merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini.
Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah merupakan jalan pertama untuk
mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia
dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati,
karena Al-Quran diturunkan langsung dari Allah dan diterima oleh manusia dari
Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’.
Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan
tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada
kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan
beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu
hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari
Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan
ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan
As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam.
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara
lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang
ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai
hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Wahhab, Khallaf Abdul. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka
Aman, 2003
Syafe’i
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka Setia ,2007
Syamin, Syukur. Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993
[1] Racmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia ,2007),
hal. 65
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Aman,
2003),hal. 17
[4] Rachmat Syafe’i.
Op.Cit., hal.51
[5] Ibid.,hal. 54
[6] Ibid., hal. 59
[7] Abdul Wahhab Khallaf. Op.Cit., hal. 41
[8] Ibid., hal. 64
[10] Abdul Wahhab Khallaf. Op.Cit., hal. 54
[12] Ibid., hal. 72
[13] Ibid., hal. 86
[14] Ibid., hal. 91
sangat bermanfaat izin sedot yahh :) salam blogger
BalasHapusartikel ini sangat membantu saya buat nambah-nambah ilmu..semoga ilmunya bermanfaat dan berkah.
BalasHapus