Aku tak tahu kapan aku akan sukses didalam hidupku. Aku hanya tahu bahwa aku pasti akan sukses. (Jo Coudert ) ^_^

Kamis, 22 Agustus 2013

KAMPUNG ADAT CIREUNDEU CIMAHI

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Letak Geografis Kampung Adat Cireundeu
Kampung Cireundeu berada di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Kampung Adat Cireundeu tersebut terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai mana adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis pertanian yang di tekuni di kampung adat ini yaitu bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman.
Keadaan Kampung Adat Cireundeu
Setelah melakukan observasi langsung ke lokasi yaitu Kampung Adat Cireundeu kami banyak melihat perbedaan yang sangat mencolok antara kampung adat Cireundeu dan kampung-kampung lainya. Secara  fisik kampung Cireundeu masih sama seperti kampung-kampung lain, tetapi karena di kampung ini masih sangat mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan leluhurnya, serta masih menjaga kepercayaan yang dianutnya secara turun temurun, seperti yang kami lihat ketika masuk ke kampung Cireundeu ada plang yang bertuliskan “WILUJENG SUMPING DIKAMPUNG ADAT CIREUNDEU” dengan tulisan Sunda kuno.
C.     Sistem Kepercayaan Masyarakat Cireundeu.
Berdasarkan wawancara kami dengan sesepuh tokoh adat kampung Cireundeu yang bernama Abah Emen Sunarya, penduduk kampung cireundeu masih memegang teguh adat itiadat dan kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan sunda wiwitan. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal.
Bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi yang dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Pada zaman pemerintah Belanda, Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, ajaran Madrais dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya yaitu H.Ali dengan Pangeran Madrais tahun 1930-an.
Pada tahun 1938, Pangeran Madrais berkunjung  ke Cireundeu dan sempat menetap lama disana. Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais atau Pangeran Madrais adalah salah satu keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang juga menyebarkan ajarannya di daerah Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran Madrais menitik beratkan pada kebanggaan akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh orang Sunda. Meski demikian, ajaran Madraisme tersebut menekankan toleransi dan kesediaan yang kuat dalam menerima perbedaan, dan pembangunan jati diri bangsa dengan kecintaan pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”.

D.    Nilai-nilai Islam pada Upacara Satu Syura.
Berdasarkan penelitian kelompok kami nilai-nilai islam yang terdapat dalam upacara satu syura banyak sekali, baik yang tersurat maupun yang tersirat diantaranya yaitu:
Ø  Upacara satu syura pada dasarnya merupakan wujud ungkapan rasa syukur kepada sang maha pencipta atas segala karunia dan nikmat yang telah di terima, berupa keberkahan hidup, kesehatan lahir dan batin atas pemberian sang maha pencipta untuk kelangsungan hidup.
Ø  Dalam prosesi upacara satu sura acara utamanya adalah mendengarkan wejangan (ceramah) dan berdo’a bersama.

E.     Kegiatan Adat di Kampung Cireundeu
Kegiatan adat di kampung Cireundeu yang masih ada sampai saat ini yaitu Upacara Satu Sura. Upacara satu sura atau yang biasa penduduk kampung sebut dengan suraan ini merupakan upacara adat tutup tahun saka. Tahun baru Saka diperingati warga Cireundeu bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan 1 Sura, yang dalam bahasa lisan dikenal dengan Satu Suro. Jika Islam menggunakan Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan antara tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan memakai patokan peredaran bulan. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung dari Mataram islam, menggantikan Saka  Hindu.
Tradisi upacara satu sura tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang maha pencipta atas segala suka duka karunia dan nikmat yang telah di terima, berupa keberkahan hidup, kesehatan lahir dan batin atas pemberian sang maha pencipta untuk kelangsungan hidup.
Menurut Abah Emen, Upacara Satu Sura telah rutin digelar sejak zaman leluhur mereka. Upacara suraan memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus saling memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan  pandangan hidup mereka yaitu  “Mugia Akur Rukun Repeh Repih sareng Sasama Hirup”.
a)      Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul fitri. Sebelum tahun 2000, mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa tahun terakhir ini, Saat upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau pakaian warna putih yang disebut toro dengan bawahannya menggunakan batik yang bergambar kujang.
b)      Jenis Makanan
Makanan yang di sajikan pada upacara 1 sura yaitu  gunungan sesajen berupa buah-buahan dan tumpeng rasi (nasi kuning yang berbhan dasar nasi singkong),dan berbagai jenis makanan olahan yang berbahan dasar singkong. Semua makanan tersebut tersaji di tengah ririungan (kumpulan) warga di bale saresehan (tempat upacara 1 sura).
c)      Rangkaian Acara
Rangkaian acara pada upacara adat Satu Sura dimulai dengan mendengarkan wejangan dari salah seorang sesepuh kepala adat disana, dilanjutkan dengan berdo’a bersama yang di pimpin oleh salah seorang sesepuh dengan diiringi alat musik kecapi suling. Setelah berdo’a semua warga bersalaman kepada sesepuh-sesepuh ketua adat dan kepada warga lainnya. Setelah acara itu selesai barulah mereka ....(ziarah kubur).
Pada hari kedua hingga hari terakhir pada bulan syura ada yang disebut  tradisi kirim-kirim. Tradisi kirim-kirim adalah tradisi saling berkirim makanan berupa nasi dan lauk-pauknya menggunakan rantang (tempat makanan yang bersusun dengan sebuah peganagn). Teknisnya bergiliran, dalam sehari satu rumah yang menyediakan makanan untuk di bagikan pada warga kampung dan hari berikutnya rumah lainnya dan begitu seterusnya hingga berakhir bualn syura.
Pada minggu ke dua atau minggu ketiga di bulan syura yang bertepatan pada malam minggu diadakan pementasan wayang. satu malam sebelum pementasan wayang diadakan malam kreasi seni adat sunda seperti tari-tarian tradisional, permainan musik sunda, dan silat (jenis bela diri adat sunda).
Share:

1 komentar:

Pengikut

Buku Tamu