BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis Kampung Adat Cireundeu
Kampung Cireundeu berada di lembah Gunung
Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Kampung Adat Cireundeu tersebut terletak di
Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai mana adat orang
sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis pertanian yang di tekuni
di kampung adat ini yaitu bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri
memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk
pemukiman.
Keadaan Kampung Adat Cireundeu
Setelah melakukan observasi langsung ke
lokasi yaitu Kampung Adat Cireundeu kami banyak melihat perbedaan yang sangat
mencolok antara kampung adat Cireundeu dan kampung-kampung lainya. Secara
fisik kampung Cireundeu masih sama seperti kampung-kampung lain, tetapi karena
di kampung ini masih sangat mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan
leluhurnya, serta masih menjaga kepercayaan yang dianutnya secara turun
temurun, seperti yang kami lihat ketika masuk ke kampung Cireundeu ada plang
yang bertuliskan “WILUJENG SUMPING DIKAMPUNG ADAT CIREUNDEU” dengan tulisan
Sunda kuno.
C. Sistem
Kepercayaan Masyarakat Cireundeu.
Berdasarkan wawancara kami dengan sesepuh
tokoh adat kampung Cireundeu yang bernama Abah Emen Sunarya, penduduk kampung
cireundeu masih memegang teguh adat itiadat dan kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan
sunda wiwitan. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal.
Bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun
sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi yang
dibawa oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Pada zaman pemerintah
Belanda, Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru kembali
sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, ajaran
Madrais dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya yaitu H.Ali
dengan Pangeran Madrais tahun 1930-an.
Pada tahun 1938, Pangeran Madrais
berkunjung ke Cireundeu dan sempat menetap lama disana. Madrais yang
biasa juga dipanggil Kiai Madrais atau Pangeran Madrais adalah salah satu
keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang juga menyebarkan ajarannya di daerah
Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran Madrais menitik beratkan pada kebanggaan
akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh
orang Sunda. Meski demikian, ajaran Madraisme tersebut menekankan toleransi dan
kesediaan yang kuat dalam menerima perbedaan, dan pembangunan jati diri bangsa
dengan kecintaan pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”.
D. Nilai-nilai Islam pada Upacara Satu Syura.
Berdasarkan penelitian kelompok kami nilai-nilai islam
yang terdapat dalam upacara satu syura banyak sekali, baik yang tersurat maupun
yang tersirat diantaranya yaitu:
Ø Upacara satu syura pada dasarnya merupakan wujud ungkapan rasa syukur
kepada sang maha pencipta atas segala karunia dan nikmat yang telah di terima,
berupa keberkahan hidup, kesehatan lahir dan batin atas pemberian sang maha
pencipta untuk kelangsungan hidup.
Ø Dalam prosesi upacara satu sura acara utamanya adalah mendengarkan wejangan
(ceramah) dan berdo’a bersama.
E. Kegiatan Adat di Kampung Cireundeu
Kegiatan adat di kampung Cireundeu yang
masih ada sampai saat ini yaitu Upacara Satu Sura. Upacara satu sura atau
yang biasa penduduk kampung sebut dengan suraan ini merupakan upacara adat
tutup tahun saka. Tahun baru Saka diperingati warga Cireundeu bertepatan dengan
tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan 1 Sura,
yang dalam bahasa lisan dikenal dengan Satu Suro. Jika Islam menggunakan
Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan antara
tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan memakai patokan peredaran
bulan. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung dari Mataram
islam, menggantikan Saka Hindu.
Tradisi upacara satu sura tersebut dilakukan sebagai
ungkapan rasa syukur kepada sang maha pencipta atas segala suka duka karunia
dan nikmat yang telah di terima, berupa keberkahan hidup, kesehatan lahir dan
batin atas pemberian sang maha pencipta untuk kelangsungan hidup.
Menurut Abah Emen, Upacara Satu Sura telah rutin
digelar sejak zaman leluhur mereka. Upacara suraan memiliki makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus saling memahami bila ia hidup berdampingan dengan
mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut,
gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup mereka yaitu “Mugia Akur Rukun Repeh Repih sareng Sasama
Hirup”.
a) Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul
fitri. Sebelum tahun 2000, mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa
tahun terakhir ini, Saat upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan
pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau
pakaian warna putih yang disebut toro dengan bawahannya menggunakan
batik yang bergambar kujang.
b) Jenis Makanan
Makanan yang di sajikan pada upacara 1 sura yaitu gunungan sesajen berupa buah-buahan dan tumpeng
rasi (nasi kuning yang berbhan dasar nasi singkong),dan berbagai jenis makanan
olahan yang berbahan dasar singkong. Semua makanan tersebut tersaji di tengah
ririungan (kumpulan) warga di bale saresehan (tempat upacara 1 sura).
c) Rangkaian Acara
Rangkaian acara pada upacara adat Satu Sura dimulai
dengan mendengarkan wejangan dari salah seorang sesepuh kepala adat disana,
dilanjutkan dengan berdo’a bersama yang di pimpin oleh salah seorang sesepuh
dengan diiringi alat musik kecapi suling. Setelah berdo’a semua warga
bersalaman kepada sesepuh-sesepuh ketua adat dan kepada warga lainnya. Setelah
acara itu selesai barulah mereka ....(ziarah kubur).
Pada hari
kedua hingga hari terakhir pada bulan syura ada yang disebut tradisi kirim-kirim. Tradisi kirim-kirim
adalah tradisi saling berkirim makanan berupa nasi dan lauk-pauknya menggunakan
rantang (tempat makanan yang bersusun dengan sebuah peganagn). Teknisnya
bergiliran, dalam sehari satu rumah yang menyediakan makanan untuk di bagikan
pada warga kampung dan hari berikutnya rumah lainnya dan begitu seterusnya
hingga berakhir bualn syura.
Pada minggu ke dua atau
minggu ketiga di bulan syura yang bertepatan pada malam minggu diadakan pementasan
wayang. satu malam sebelum pementasan wayang diadakan malam kreasi seni adat
sunda seperti tari-tarian tradisional, permainan musik sunda, dan silat (jenis
bela diri adat sunda).
Good luck!
BalasHapus